Arya adalah
anak tetanggaku. Rumah kami sama-sama terletak di pojok perempatan jalan yang
sama. Jika ditarik garis lurus antara rumah kami dan rumahnya maka akan
membentuk garis diagonal. Usia anak itu 5 tahun. Setahuku selama ini
kegiatannya sehari-hari adalah bermain dan membantu pamannya menggembalakan
bebek.
Pada kali
pertama aku melihat anak itu, aku sudah terkesan. Saat itu dari dalam rumah aku mendengar suara bebek ,
kwek… kwek… kwek… dan juga terdengar
suara angin yang dikibaskan, wuss… wuss.. wuss… Aku penasaran dan langsung
berlari ke depan rumah untuk melihatnya. Langsung mataku disuguhkan pemandangan
menakjubkan, sepasukan bebek berjalan
ramai bersuara, dan sesekali mengepakkan
sayapnya . Dibelakang bebek-bebek itu
ada seorang bapak yang tampak sibuk
mengarahkan jalan bebek-bebek itu sambil mengayunkan bilah kayu yang
digenggamnya. Dan disamping kirinya ada seorang anak memakai caping hijau , baju kaos coklat,
bercelana pendek dan bersepatu boot merah, Ia berjalan di belakang gerombolan bebek dengan gagah. Sambil membawa
bilah kayu kurang lebih sepanjang 2 meter, dan diujungnya terikat kantung
kresek berwarna putih, sesekali ia ayun bilah itu untuk mengarahkan jalan
bebek-bebeknya. Dalam hati aku berkata,
“ Sungguh pemandangan yang sangat langka melihat sepasukan bebek yang melintas
di depan rumah ditambah ada seorang anak yang begitu bangga dan
bersemangat menggembalakannya”.
Belakangan kuketahui
anak tersebut bernama Arya dan bapak itu
bernama pak Heri yang tak lain adalah
pamannya Arya. Menggembalakan bebek adalah kegiatan rutin Arya, setiap siang ia
dan pamannya mengajak bebek-bebek itu menuju sawah yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumah. Arya sangat
menyukainya, ia selalu semangat, ceria
dan sangat serius melakukan tugasnya
menggembalakan bebek.
Nah.. hari
ini ada suatu kejadian yang membuat wajah ceria Arya menjadi murung, bahkan
saat aku bertemu dengannya masih terlihat jejak air mata di pipinya. Aku
bertanya kepada ibunya, apa yang terjadi dengan Arya. Ibunya menceritakan, ada dua pohon bunga kepunyaan Arya yang diminta
orang. Saat itu aku melihat ke halaman
mereka, yang tadinya rimbun ada pohon
bunga sekarang tampak kosong. Tadinya di
depan rumah Arya tumbuh tiga pohon bunga
berwarna kuning, pohonnya setinggi dua meter, besar dan lebat daun maupun bunganya. Bunganya seperti bunga
Alamanda, namun belum ada yang tahu nama sebenarnya bunga itu. Menurut cerita
ibunya bunga-bunga itu ditanam oleh Arya sendiri dan selama ini ia juga yang ikut merawat dan menyiramnya.
Tadi pagi ada yang meminta dua dari tiga pohon bunga itu, kedua pohon besar itu
dibeli dengan harga 100 ribu rupiah. Ibunya Arya awalnya berkeberatan
memberikannya, tapi entah bagaimana prosesnya akhirnya
pohon-pohon tersebut dibawa pergi. Kejadian itulah yang membuat Arya marah dan
sedih. Ia berusaha menyusul orang yang membawa pohon-pohonnya, mengembalikan
uangnya dan meminta kembali pohon bunganya. Namun orangnya sudah tidak ada, pohon-pohonnya
sudah dibawa pergi, dan tetap ia serahkan uang tersebut ke salahsatu pihak
keluarga dari orang yang membawa pohonnya.
Aku sedih
melihat anak yang biasanya bersemangat dan ceria kini murung. Aku melihat Arya sedang memukul-mukul tanah
kosong tempat pohon bunganya dulu berdiri. Aku teringat beberapa waktu yang
lalu ia menghampiriku saat aku sedang duduk di teras sibuk menanam bibit-bibit palem di plastik
polybag. Sambil menggamit ibunya, ia berbisik ingin minta polybag untuk menanam
di rumah. Langsung aku sodorkan beberapa
polybag , bibit palem dan kuajarkan cara mengisi dan menanamnya. Ia mengikuti
arahanku dan melakukannya dengan tekun dan serius. Di hari itu beberapa kali ia
bolak-balik dari rumahnya ke rumah kami dengan membawa tanaman-tanaman yang
masih kecil untuk ditanam juga di polybag. Dari ibunya aku tahu bahwa Arya menyukai
tanaman. Wajarlah jika ia murung, aku
dapat merasakan kemarahan, kekecewaan dan kesedihannya.
Setelah
berpikir sejenak, aku panggil dia, “Arya…, ayo kita tanam lagi bungamu. Tante
masih punya banyak polybag dan pupuk. Kamu bisa menggunakannya.”. Mendengar
perkataanku, ia memandangku dan ibunya dengan penuh harap, dan bertanya ke
ibunya dalam bahasa jawa, (aku terjemahkan ), “ Bisa bu ditanam? Bijinya bisa
ditanam?” tanyanya berulang kali. Ibunya mengangukkan kepala, “Iya… bisa.
Bijinya yang kering bisa ditanam. Nanti akan tumbuh besar lagi.”. Mendengar
perkataan ibunya, wajahnya seketika berubah, dengan semangat ia menarik tangan
ibunya, “ Ayo bu..ayo bu…. Kita ambil polybagnya. Kita tanam bijinya… ayo
bu….” Arya langsung berjalan sambil setengah
berlari menuju rumah kami. Ia langsung
membantuku membawa polybag yang sudah terisi campuran pupuk kandang dan sekam.
Dibawanya polybag-polybag itu ke rumahnya, langsung ia tanami dengan biji-biji
bunga kuningnya. Wajahnya sudah kembali
ceria, ia semangat mengatur barisan polybag dan menyirami tanaman barunya. Dan tak lama kemudian ia sudah terlihat berlarian bermain layangan
dengan ayahnya.
Bagiku Arya
adalah sosok yang istimewa, dengan kekhasan anak-anak seumurnya yang penuh rasa ingin tahu, ceria dan tak kenal
takut. Namun yang membedakan dia dari anak-anak lainnya adalah konsistensi, keseriusannya
dan kesungguhan dalam mengerjakan
sesuatu. Bisa dikatakan ia tidak pernah
absen dalam mendampingi pamannya menggembalakan bebek. Tanpa disuruh oleh
orangtuanya, ia sendiri datang ke rumah pamannya, bersiap-siap dengan caping hijau
dan sepatu boot merahnya, dan bersama pamannya
menggembalakan bebek.
Dalam hati
aku memintaNya supaya menjaga agar senyum
cerianya selalu terpampang di wajahnya dan
saat besar nanti menjadi Arya yang penuh semangat dan mencintai apapun yang ia
kerjakan.
1 comment:
Senang bisa menemukan kembali catatan-catatan tentang Nadya. Lama sekali rasanya dari terakhir kontak dengan keluarga mbak Dita sekitar tahun 2010.
Apa kabar mbak Dita dan keluarga? Nadya sekarang sudah gede ya. Salam dari kami
Post a Comment