Saturday, October 25, 2008

Tuhan itu apa?

Tulisan ini ditulis oleh salah seorang sahabat keluarga kami dan baru beberapa hari yang lalu muncul di situs Bening.Membaca apa yang ditulis membuatku teringat pada percakapan kami saat menghadapi pertanyaan Nadya tentang Tuhan.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami Mbak Susan, kami juga mengalami hal yang sama dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Nadya. Sampai kemudian Nadya memberikan pernyataan yang sama seperti yang diajukan putranya Mbak Susan :).


TUHAN ITU APA? – Memupuk Religiusitas Anak

Susan M

Anak saya terlihat serius menonton berita televisi yang saat itu sedang menyangkan liputan sholat Id di berbagai tempat di Jakarta. Menarik, pikir saya, tapi yang terjadi kemudian lebih menarik lagi.

Anak saya bertanya, “Mama, orang-orang itu ngapain?”

Saya jawab, “Sedang sholat, Sayang.”

“Sholat itu apa, Ma?”

“Sholat itu cara umat Islam menyembah Tuhan.”

“Tuhan itu apa?”

Pertanyaannya tentang Tuhan sempat membuat saya terdiam agak lama. Saya yakin banyak orang tua, bahkan mungkin semua orang tua, pernah mengalami menghadapi pertanyaan serupa itu dari anaknya.

Saya rasa, keingintahuan memang salah satu sumber daya hidup manusia. Dunia psikologi perkembangan dan pendidikan menunjuk rentang usia kanak-kanak sebagai masa pencarian, pemaknaan dan penyerapan pengetahuan akan lingkungan sekitarnya. Begitu murninya hasrat natural itu hingga ekspresi keingintahuan anak itu merebak begitu lugas.

“Tuhan itu yang menghendaki terciptanya kita semua.”

“Tuhan yang membuat aku, dan mama, dan papa?”

“Ya, Tuhan yang menghendaki terciptanya kamu, mama, dan papa. Hanya jika Tuhan yang menghendaki, maka yang dikehendaki itu terjadi.”

Saya sadar, pada tahap itu dialog sudah meluas spektrumnya. Anak saya sedikit menelengkan kepalanya, saya rasa dia agak kesulitan mengerti jawaban saya, tapi saya mendiamkannya. Saya memberinya waktu untuk mengolah input baru yang mungkin masih terasa ‘aneh’ baginya.

“Kenapa Tuhan membuat kita, Ma?”

Dalam hati, saya terpaku pada pergulatan yang terasa begitu agung. Di satu sisi, saya ingin tertawa menyadari betapa deretan filsuf sepanjang sejarah belum ada yang sempurna merumuskan jawaban atas pertanyaan itu. Di sisi lain, saya terpacu untuk segera menemukan jawaban atas pertanyaan yang juga merupakan pertanyaan saya dan hingga saat ini belum terjawab. Di sisi yang lain lagi, saya jadi putus asa dan ingin mengalihkan fokus pikirannya, tapi alangkah kejinya tindakan itu. Dan di banyak sisi yang lain lagi, banyak pula reaksi internal yang menuntut saya menurutinya.

“Mama juga belum tahu pastinya.”

“Terus, gimana dong, Ma?”

“Mmm…, gimana kalau kita berdua tanyakan langsung ke Tuhan?”

“Kita bisa tanya langsung ke Tuhan?”

“Tentu saja, dan karena Tuhan itu mengetahui segala sesuatu, Ia bahkan sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kita sebelum kita tanyakan,” begitu saya katakan sambil beranjak mengambil Alkitab di bufet.

Kali ini, saya pun sadar bahwa anak saya mulai sulit menangkap maksud saya, terlihat dari kepalanya yang kembali sedikit meneleng. Saya bersimpuh di depan anak saya, kedua tangannya saya raih, lalu…

“Kamu mau tanya apa Ke Tuhan, Sayang?”

“Ya itu tadi, Ma, Tuhan itu apa?”

“Oke, sekarang tutup matamu, Mama akan bilang ke Tuhan apa yang kamu tanyakan.”

Anak saya menuruti apa yang saya minta dan saya mulai berdoa, “Tuhan, kami bersyukur kepadaMu karena Engkau telah menghendaki terciptanya kami dalam cara dan rupa yang baik. Kami bersyukur kepadaMu karena melalui segala yang berhubungan dengan kami, Engkau sungguh telah menyayangi kami. Sekarang Tuhan, anakku ingin menanyakan apakah Tuhan itu? Apakah Engkau itu? Kami tahu bahwa sesungguhnya Engkau telah menjawabnya sejak Engkau menghendaki kami tercipta. Kami mohon bimbinglah kami menemukan jawaban itu dalam firmanMu. Amin.”

Lalu saya ajak anak saya ikut menelusuri indeks ayat Alkitab. Saya menemukan ayat yang memuat jawaban lugas Tuhan atas pertanyaan itu. Ia berfirman: “Aku adalah Aku.”

Saya kembali terpaku, kali ini karena merasakan sebuah sensasi damai dalam diri saya sendiri seiring mengalirnya pemahaman baru di benak saya. Mungkin saya sempat melamun sebentar waktu itu, sampai…

“Ma…?”

“Ya, Sayang.”

“Jadi, Tuhan itu aku?”

Mmm…, please excuse me, my Lord, but I think we do need a break… Embarassed :)

2 comments:

Andrei B. said...

Mampus! ak juga bingung jawabnya!

Aduuh Mbak ak sempet merinding pas baca tulisan mbak yg ini:
“Tuhan, kami bersyukur kepadaMu karena Engkau telah menghendaki terciptanya kami dalam cara dan rupa yang baik. Kami bersyukur kepadaMu karena melalui segala yang berhubungan dengan kami, Engkau sungguh telah menyayangi kami. Sekarang Tuhan, anakku ingin menanyakan apakah Tuhan itu? Apakah Engkau itu? Kami tahu bahwa sesungguhnya Engkau telah menjawabnya sejak Engkau menghendaki kami tercipta. Kami mohon bimbinglah kami menemukan jawaban itu dalam firmanMu. Amin.”

Aduuh ak baca nya asli nyaman dan serasa dekeeet bgt ama Nadya (dengan keingin tahuannya)

Tapi sayang endingnya bikin ak juga masih bertanya2, emang c ak ngerti makna Tuhan itu, cm kan klo anak kecil yg pinter keik nadya itu, ak juga bingung jawabnya, gimana coba?

sekolahnadya said...

Itulah Drei.. aku suka mati kata kalau Nadya sudah mulai bertanya-tanya tentang topik ini.

Itu sebabnya, dalam hal ini kami tidak menjawab apa yang dia tanyakan, tapi kami bawa dia dalam situasi dimana dia bisa merasakan dan memahami keberadaanNya. Biar dia menemukan jawaban sendiri atas apa yang dia tanyakan. :)