Thursday, April 24, 2008

Nadya Balerina


(Ini tulisannya Papa... Mama masukkan juga di blognya Nadya)

Awalnya, Nadya putri kami, 3 tahun, bilang ingin sekolah. Kejutan itu terjadi beberapa waktu lalu. Sejauh ini, kami orang tuanya sudah berkomitmen menyelenggarakan homeschooling untuknya, dan sekarang dia minta sekolah. Okelah, di atas itu kami punya komitmen yang lebih tinggi: apa pun yang dia mau, apa pun yang menyenangkan dia; kami tak pernah mau memaksakan kehendak dan anggapan kami kepadanya. Maka, dengan melibatkan Nadya secara langsung, kami mulai meneliti keinginannya bersekolah itu.

Setelah survei per telepon ke beberapa TK, playgroup, kelompok bermain, dan ‘sekolah-sekolah’ yang ada di kota kami, yang punya program untuk anak seusianya, kami mengajak dia mengunjungi dan mencoba (trial) suasana dan nuansa beberapa lembaga tadi. Kami amati penuh semua aktivitas yang dilakukannya di sana, juga semua reaksinya, sedetil mungkin semampu kami. Di akhir tiap sessi, kami tanyai dia, apakah itu sekolah yang dia inginkan, tapi dia selalu menjawab sama: “Tidak mau.”

Kami putuskan menunggu perkembangan lebih lanjut sambil meneruskan survei. Demikian hingga beberapa hari lalu, mungkin gara-gara menonton acara “Little Einstein” di channel Playhouse Disney, putri kami berkata: “Mama, Nanya mu bayyet [Mama, Nadya mau balet, pen].” Masih dalam kaitan dengan permintaannya sebelumnya, kami tanyai dia, apakah maksudnya mau sekolah balet, dan dia mengiyakan.

Kami agak bingung juga. Kami tahu ada beberapa kursus balet di kota kami, tapi yang untuk anak-anak di bawah lima tahun, kami belum pernah tahu. Kami juga belum temukan ada playgroup atau kelompok bermain yang punya program balet. Jadi, kami sampaikan ke putri kami bahwa kami akan cari dulu sekolah balet yang diinginkannya itu, semoga ada.

Syukurlah, dalam waktu tak sampai seminggu, ketika sedang bersepeda sore, kami menjumpai sebuah sekolah balet untuk anak-anak di dekat rumah kami. Lebih dari yang kami harapkan, ada kelas khusus untuk usia 3 – 5 tahun. Nadya terlihat sangat senang di sana. Meski masih malu-malu membaur dengan anak-anak yang sedang berbalet pada saat itu, tapi sambil duduk ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengetuk-ngetukkan kakinya mengikuti musik waltz yang sedang diputar. (Anak kami memang sangat musikal. Kami sudah perdengarkan musik kepadanya sejak ia masih dalam kandungan.)

Seperti biasa, kemudian kami tanyai apakah dia mau sekolah di situ. Nadya menjawab dengan girangnya: “Mauuu...!!!” Maka kami langsung daftarkan dia dan belikan satu set baju balet yang akan dipakainya tiap kali mengikuti kelas baletnya yang seminggu sekali itu. Kami juga segera masukkan perbaletan itu ke dalam kategori temporary phenomenon dari kurikulum homeschooling kami.

Di rumah, Nadya tak sabar segera mencoba baju baletnya, lalu mulai menari-nari. Kami putarkan baginya Blue Danube Waltz, dan dia makin semangat lagi. Beberapa kali kami ingatkan untuk berhenti sejenak, istirahat, rileks, atur nafas, kemudian segera dia menari lagi, melenggak, melenggok, berputar, sambil menjinjit-njinjit khas balerina. Kami sempatkan mendokumentasi kejadian itu.

Di antara istirahatnya, kami sempat tanyakan apa iya dia nantinya mau jadi balerina, dan Nadya menjawab: “Iya.”

Lalu kami tanyakan, “Nadya mau balet di mana?” Dia menjawab: “Di Payi [maksudnya: Paris, pen].”

Sambil menduga Nadya tahu Paris juga dari acara “Little Einstein”, kami bertanya lagi, “Memangnya Nadya tahu Paris itu di mana?” Dia menjawab: “Tidak.” (Kami selalu bangga akan kejujurannya.)

Kami bertanya lagi, “Lalu, kenapa Nadya pengen balet di Paris?” Nadya menjawab: “Mu ikut Tante Steyya.”

Kami tergelak, menyadari dari mana asalnya “bad” influence itu: Tante Stella!

Kami sadar betul, boleh jadi tak sampai akhir bulan depan, atau bahkan setelah kelas pertamanya nanti, Nadya akan hilang minat terhadap balet, dan kami selalu siap dengan kemungkinan perubahan itu. Kami punya cara khas dan tersendiri dalam menghadapi perubahan minat dan semangat anak kami. Di satu sisi, ada baiknya belajar berkomitmen dengan keinginan, tapi di sisi lain, anak kami tak boleh mengalami kekangan tak berdasar kuat (dalam cross-reference dengan realitas).

Kurikulum yang kami rumuskan untuk homeschooling anak kami juga sederhana dan sangat akomodatif terhadap ragam perubahan fenomena yang tak terbatas. Poin-poinnya sedikit saja: kelurusan berpikir ([reasonable] logic), kepekaan hati / intuitif, serta kelurusan antara keduanya. Track-nya adalah kecerdasan, kapasitas, dan kapabilitas discernment holistik. Mungkin terdengar aneh atau bahkan mengada-ngada, tapi demikianlah adanya.

(Tulisan lengkapnya sih ada di www.bening.org :D)


3 comments:

Anonymous said...

Paris..wah, kayak kakak Rahma aja nih lagi pengen ke Paris ikut tante Dian...selamat belajar balet ya..

Anonymous said...

Wuiiiih Oom langsung tepuk tangan girang buat Nadya, kecil2 udah punya impian tinggi, Iya Nadya trus blajar yah! gak ada yg mustahil! di paris banyak juga anak2 kayak Nadya belajar balet.

yang semangat ya Nadya sayang *Seneng ya punya ortu yang baek* :)

Anonymous said...

Asyiik..... seneng deh belajar balet. Nanti kalau ketemuan Nadya balet yaaa ^_^